Sebelum
membahas tentang Kasus-kasus yang berhubungan dengan Etika Profesi Akuntansi,
maka terlebih dahulu kita harus mengetahui apa itu pengertian Etika Profesi
Akuntansi, seperti tertera pada penjelasan berikut ini.
Etika (etimologi), berasal dari bahasa Yunani yaitu “Ethos” , yang berarti
watak kesusilaan atau adat kebiasaan (custom). Etika biasanya berkaitan erat
dengan perkataan moral yang merupakan istilah dari bahasa Latin, yaitu “Mos”
dan dalam bentuk jamaknya “Mores”, yang berarti juga adat kebiasaan atau cara
hidup seseorang dengan melakukan perbuatan yang baik dan menghindari hal-hal
yang bersifat buruk.
Profesi merupakan kelompok lapangan kerja yang khusus melaksanakan kegiatan
yang memerlukan ketrampilan dan keahlian tinggi guna memenuhi kebutuhan yang
rumit dari manusia, didalamnya pemakaian dengan ara yang benar.
Pengertian
dan Definisi Etika Profesi Akuntansi
Tujuan profesi akuntansi adalah memenuhi tanggung jawabnya dengan standar profesionalisme
tertinggi, mencapai tingkat kinerja tertinggi dengan orientasi kepada
kepentingan publik. Untuk mencapai tujuan tersebut terdapat 4 kebutuhan dasar
yang harus terpenuhi :
1. Kredibilitas. Masyarakat membutuhkan kredibilitas informasi dan sistem
informasi.
2. Profesionalisme. Diperluikan individu yang dengan jelas dapat
diidentifikasikan oleh pemakai jasa Akuntan sebagai profesional di bidang
akuntansi.
3. Kualitas jasa. Terdapatnya keyakinan bahwa semua jasa yang diperoleh dari
akuntan diberikan dengan standar kinerja tinggi.
4. Kepercayaan. Pemakai jasa akuntan harus dapat merasa yakin bahwa terdapat
kerangka etika profesioanal yang melandasi pemberian jasa oleh akuntan.
Berdasarkan uraian tentang pengertian Etika Profesi Akuntansi diatas, maka
untuk memperjelas maksud dan tujuan Diadakannya Etika Profesi Akuntansi saya
paparkan beberapa Kasus-kasus yang berhubungan dengan Profesi Akuntansi, agar
Penerapan Etika Profesi bisa lebih digalakkan kembali.
Beberapa kasusnya antara lain:
Kasus 1 : Ditjen Pajak Turuti Proses Hukum Mengenai Kasus Pengadaan Sistem
Informasi
Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menyerahkan
sepenuhnya proses hukum atas dua pegawai mereka yang resmi menjadi tersangka
dalam kasus pengadaan sistem informasi di tubuh perpajakan negara.
Direktur Penyuluhan dan Bimbingan Pelayanan Hubungan Masyarakat Dirjen Pajak
Dedi Rudaedi mengaku prihatin atas kasus tersebut. “Tapi kami sangat kooperatif
dengan pihak berwajib agar segara tuntas,” ujar Dedi dalam jumpa pers di kantor
Ditjen Pajak, Jakarta, Jumat(4/11/2011).
Dedi juga
menegaskan, kasus yang terjadi di dalam tubuh instansi perpajakan tersebut
bukanlah kasus perpajakan, tetapi murni kasus pengadaan barang.
“Kasus tersebut sangat berbeda substansinya dengan perpajakan. Tapi kami dukung
proses hukum yang berlaku. Kami tidak akan menghalangi, justru kami dukung
penuh karena kami sedang berbenah agar tidak ada intervesi dari pihak pihak
lainnya,” tegasnya.
Seperti diketahui, Penyidik Kejaksaan Agung (Kejagung) kemarin melakukan
penggeledahan di sejumlah tempat sebagai upaya pengungkapan dugaan korupsi
pengadaan sistem informasi di Ditjen Pajak tahun anggaran 2006. Sejumlah dokumen
penting terkait pengadaan barang sistem informasi ditemukan dalam penggeledahan
tersebut. Pasca penggeledahan, Kejagung pun menetapkan dua orang tersangka
dalam kasus ini.
Tersangka pertama bernisial B, dan menjabat sebagai ketua panitia proses pengadaan
sistem informasi manajamen. Tersangka kedua bernisial PS, dan menjabat sebagai
pejabat pembuat komitmen. Kasus ini sendiri bergulir pada tahun anggaran 2006.
Berdasarkan audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), dari proyek total senilai
Rp43 miliar, diduga adanya praktik penyelewengan dana Rp12 miliar. Kedua
tersangka dijerat Pasal 2 dan 3 Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi (Tipikor).
Dia menegaskan, ke depannya dengan penurunan kinerja tersebut dapat
mempengaruhi pada anjloknya penerimaan negara dari pajak. “Yang membahayakan
pada konteks penerimaan pajak, itu yang penting,” tambahnya. Namun Dedi
menganggap semua permasalahan yang terjadi saat ini sebagai pembelajaran dan
menjadi evaluasi yang berharga bagi institusinya. “Kita prihatin iya, tapi ada
hikmah yang bisa diambil. Dan pembelajaran luar biasa untuk melakukan
pembenahan, ini bagian kita guna evaluasi diri,” ungkap Dedi.
Kasus 2 : Persekongkolan di Bank Century.
Jika Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) berhasil mengungkapkan adanya bukti
penyimpangan aliran dana dalam pemberian dana talangan Bank Century senilai Rp
6,7 triliun, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dapat dijerat dengan pasal
persekongkolan jahat dan menghalang-halangi penyelidikan sesuai dengan Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
Pasalnya, hingga kini kepada Tim Pengawas (Timwas) Pelaksanaan Rekomendasi DPR
atas Kasus Bank Century, KPK menyatakan tidak menemukan unsur perbuatan tindak
pidana korupsi dalam kasus Bank Century. Padahal, sejak awal permintaan untuk
melakukan audit terhadap Bank Century justru dilakukan oleh KPK.
Hal itu diungkapkan anggota Timwas Bank Century Bank DPR, Bambang Soesatyo,
kepada Kompas, Jumat malam ini. “Kalau BPK nanti mengungkapkan adanya bukti
penyimpangan aliran dana penyaluran dana talangan Bank Century dalam laporannya
kepada DPR, atau pimpinan yang baru KPK berhasil mengungkapkan bukti tersebut,
maka pimpinan KPK yang sekarang ini harus bertanggung jawab. Mereka bisa
dikenakan tuduhan persekongkolan dan menghalang-halangi penyelidikan kasus Bank
Century,” tandas Bambang.
Alasan Bambang, selama ini KPK selalu menyatakan tidak menemukan adanya unsur
tindak pidana Bank Century. “Jadi, boleh KPK sekarang tenang-tenang saja. Akan
tetapi, kalau bukti-bukti itu terungkap, maka KPK bisa dijerat balik dengan dua
pasal tersebut,” tambahnya. Menurut Bambang, pada rapat dengan Timwas
Pelaksanaan Rekomendasi DPR atas Kasus Bank Century, belum lama ini, Ketua KPK
Busyro Muqoddas tetap menyatakan KPK tidak menemukan unsur tindak pidana
korupsi di Bank Century.
Sebelumnya, dalam laporan audit BPK tahun lalu, BPK menemukan sejumlah
penyimpangan, mulai dari bentuk akuisisi dan merger, pengawasan yang lemah oleh
Bank Indonesia, pemberian fasilitas pinjaman jangka pendek (FPJP), penanganan
Bank Century oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), penetapan Century sebagai
bank gagal berdampak sistemik terkait keputusan Komite Stabilitas Sistem
Keuangan (KSSK), pemberian penyertaan modal sementara (PMS), dan pencairan dana
pihak ketiga terkait hingga praktik tak sehat. Saat ini, BPK masih melakukan
audit forensik terhadap aliran dana Bank Century. Direncanakan, akhir November
mendatang, BPK menyerahkan laporannya ke DPR.
Kasus 3 : Terjeratnya Nazaruddin
Mantan Bendahara Umum Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin tidak hanya terjerat
kasus suap pembangunan wisma atlet SEA Games, Palembang. Tujuh kasus lainnya di
beberapa Kementerian telah menanti dan sudah masuk tahap penyelidikan di Komisi
Pemberantasan Korupsi. Juru Bicara KPK Johan Budi mengungkapkan, tujuh kasus
yang menjerat Nazaruddin.
Pertama, kasus pengadaan alat bantu belajar mengajar pendidikan dokter
spesialis di rumah sakit pendidikan dan rujukan.
“Kasus kedua, Badan Pengembangan dan Pemberdayaan SDN Kemenkes tahun 2009
dengan nilai mencapai Rp490 miliar,” kata Johan di KPK Jakarta. 25 Agustus
2011.
Kasus
ketiga, menurut Johan adalah proyek pengadaan peralatan pembangunan fasilitas
produksi riset dan teknologi vaksin flu burung di Direktorat Jenderal
Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan tahun 2008 sampai 2010 di
Kementerian Kesehatan.
Sementara
beberapa kasus juga disinyalir kuat melibatkan Nazaruddin di Kementerian
Pendidikan Nasional (Kemendiknas) yakni, pengadaan peralatan laboratorium di
Universitas Negeri Jkarta tahun 2010.
Serta, pengadaan peralatan laboratorium dan meubeler di Universitas Sriwijaya
Palembang tahun 2010.
Kasus keenam, pengadaan peralatan laboratorium pusat riset dan pengembangan
bidang ilmu pengetahuan Universitas Soedirman, Purwokerto Jawa Tengah tahun
2010.
“Sedangkan
ketujuh pengadaan laboratorium di Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, Serang,
Banten tahun 2010,” kata Johan.
Selanjutnya kasus-kasus yang telah dilakukan oleh Nazaruddin sangat perlu
perhatian khusus dari institusi terkait, demi menstabilisasi hukum yang berlaku
agar tidak muncul lagi Nazaruddin-Nazarudin lain yang mungkin bisa merugikan
negara lebih besar lagi.
Kasus 4 :
Tunggakan Pajak Perusahaan Sawit Asian Agri.
Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) menyatakan grup perusahaan sawit
Asian Agri menunggak pajak sebesar Rp 1,294 Triliun. Jumlah tersebut merupakan
pajak yang belum dibayarkan ke negara selama 4 tahun terakhir dari 14
perusahaan Asian Agri.
“Simpulan kami, adanya perbedaan laporan ke dalam laporan rugi laba yang tidak
sesuai dengan kondisi sebenarnya. Sehinggga merugikan keuangan negara secara
keseluruhan sebesar Rp 1,294 triliun dari 14 perusahaan,” kata Kepala Bidang
Investigasi BPKP, Arman Sahri Harahap dalam persidangan di PN Jakarta Pusat, Jalan
Gajah Mada, Jakarta, Kamis, (15/9/2011). Menyimpulkan besaran pajak yang belum
dibayar tersebut, BPKP meneliti SPT PPH dan lampirannya yang disampaikan ke
kantor pajak Tanah Abang 1 dan 2. Lalu dengan membandingkan dengan buku besar
Asian Agri. Langkah selanjutnya dengan dibandingkan dengan hasil audit akuntan
publik.
“Kami menghitung nilai transaksi yang ada buktinya tapi tidak ada di dalam
pembukuan. Lalu menghitung substansinya,” ungkap Arman yang sekarang bertugas
di Sulawesi. Namun dalam persidangan siang ini, Arman belum bisa menyampaikan
hasil temuannya ke majelis hakim yang di ketuai oleh Martin Ponto Bidara.
Dengan alasan berkas sangat banyak sehingga belum selesai di selesaikan secara
administrasi. Dia berjanji akan memberikan ke semua pihak Kamis depan.
Hal ini tertuang dalam laporan kompilasi, pekan depan akan kami sampaikan.
Karena kami harus mengumpulkan 14 perusahaan,” ungkap Arman. Menanggapi
pernyataan ini, pihak Asian Agri tidak berani berkomentar banyak. Pihaknya baru
menyatakan pendat usai mendapat salinan BPKP tersebut. Ini menunjukan saksi
belum siap karena dari 14 baru 10 perusahaan yang selesai. Karena laporan
tertulis, maka kami butuh waktu mempelajari,” kata kuasa hukum terdakwa, Luhut
Pangaribuan.
Dimana ada selisih antara nilai utang pajak antara jaksa dengan saksi. Ini kan
kasus pajak beda dengan kasus korupsi. Kalau di pajak, ini utang. Bukan
pidana,” timpal kuasa hukum lainnya, M. Assegaf.
Seperti diketahui, Jaksa Penuntut Umum telah mendakwa tax manager Asian Agri,
Suwir Laut dengan pasal 39 ayat 1 huruf c Undang-Undang No.16 Tahun 2000
tentang Pajak. Terdakwa dituding telah menyampaikan SPT yang tidak benar atau
tidak lengkap untuk tahun pajak 2002 hingga 2005. Akibat kekeliruan ini
menimbulkan kerugian negara Rp1,259 triliun. Pelanggaran terhadap pasal ini
dikenai hukuman maksimal berupa kurungan penjara 6 tahun dan denda empat kali
dari nilai kerugian yang diderita negara.
Kesimpulan : Berdasarkan Kasus-kasus yang terjadi diatas, maka dapat
disimpulkan bahwa banyak sekali penyebab terjadinya kasus pelanggaran etika
profesi akuntansi, mulai dari kurangnya tanggung jawab dan pemahaman akan apa
sebenarnya aturan-aturan maupun etika yang harus dijalankan oleh pelaku
akuntansi dalam profesinya, kurangnya pengawasan dari pihak-pihak terkait,
adanya kesempatan dan beberapa pihak yang tidak bertanggung jawab yang
mendukung adanya penyalahgunaan profesi tersebut, padahal harusnya hal-hal
tersebut tidak patut terjadi, melihat betapa berat perjuangan rakyat terutama
dalam hal pembayaran pajak maupun hal lain yang kemudia diselewengkan.
Merupakan pekerjaan keras bagi kita semua untuk dapat meminimalisis, bahkan
memusnahkan hal-hal buruk tersebut. Beberapa hal yang bisa dilakukan antara
lain meningkatkan pengawasan, baik oleh pemerintah maupun masyarakat, juga
peningkatan ketegasan dari para penegak hukum.